Mengasihi sampai Saat Terakhir

09 April 2020, Hari Kamis Putih Mengenangkan Perjamuan Terakhir

Kitab Keluaran 12:1-8.11-14

Mzm 116:12-13.15-16bc.17-18; R: lh. 1Kor 10: lh.16

1Kor 11:23-26

Yohanes 13:1-15

 

 

Dalam Injil, kita membaca, “Yesus sudah tahu bahwa saatnya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sebagaimana Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai saat terakhir.” Bagaimana dengan kita? Apakah kita memiliki kapasitas untuk mencintai orang yang kita cintai, juga sampai saat terakhir? -Ini belum ditanya terhadap orang asing-. Kenyataan, banyak orang memiliki batasan dalam cinta, termasuk terhadap orang yang katanya dicintai. Jika pasangan kita melakukan perzinahan, kita langsung berpikir, bahkan bertindak tanpa ragu untuk menceraikannya. Jika orang tua kita menjadi terlalu sulit untuk ditangani -karena mereka kekanak-kanakan, membosankan, dan pelupa-, cukup mudah untuk mengirim mereka ke panti jompo atau rumah tua atau mengabaikan mereka. Jika kita mengandung bayi yang belum siap kita miliki, kita tidak ragu untuk melakukan aborsi. Jika putera atau puteri kita menjadi nakal, kecanduan narkoba atau berjudi, apakah kita masih akan menerimanya? Atau, jika mereka berulang kali gagal dalam ujian mereka, akankah kita tetap mencintai mereka dan memberi mereka semangat? Akhirnya, jika seorang imam gagal dalam tanggung jawabnya sebagai imam dan melakukan dosa-dosa yang memalukan, apakah Anda masih akan mencintainya sampai akhir dan tidak menghakimi dia? Sangat sulit kita bertahan seperti yang kita inginkan, untuk setia dan bertahan dalam mencintai sampai akhir.

 

Tuhan mencintai kita dengan cara-Nya. Dia mengasihi kita sebagai milik-Nya dan Dia mengasihi kita sampai akhir. Tuhan tidak pernah menyerah pada kita. Dia terus mengasihi kita semua, walau pun balasan dari manusia berupa keberdosaan, pemberontakan, dan tidak tahu berterima kasih. Dia selalu siap untuk mengampuni kita. Bahkan kedalaman kasih-Nya tampak dalam diri Sang Putera, yang mengambil rupa kemanusiaan kita sehingga Dia dapat merasakan penderitaan bersama kita dan untuk kita. Allah menjadikan diri-Nya sedemikian rendah sehingga menjadi salah satu dari kita. Tidak ada lagi yang dapat mengatakan bahwa Allah begitu jauh sehingga kita tidak dapat menjangkau-Nya. Sebaliknya, Tuhan menjangkau kita di dalam Kristus. Yesus turun dari surga, dilucuti dari keilahian-Nya. Dia menunjukkan kepada kita wajah dan belas kasihan Allah dalam karya penyembuhan dan pengusiran setan, dan kata-kata belas kasih-Nya.

 

Tidak berhenti di sana, Yesus, yang sudah dilucuti dari keilahian-Nya, juga dilucuti dari kemanusiaan-Nya. Dia bangkit dari meja perjamuan, melepas pakaian luarnya, dan mengikatkan handuk di pinggangnya.” Pakaian luar yang dilepas Tuhan ini adalah simbol kemanusiaan-Nya yang dikenakan-Nya di bumi. Maka, dengan menanggalkan pakaian luar, Yesus meramalkan kematian-Nya yang segera terjadi. Yesus sangat mencintai kita sehingga Dia rela menjalani kematian untuk kita.

 

Bukan hanya kematian biasa, tetapi kematian yang tidak bersalah! Dia dihukum mati secara tidak adil karena kejahatan yang dilakukan orang lain. Dengan cara ini, Dia menyelamatkan kita dari kematian. Yesus adalah penggenapan Perjanjian Lama. Ketika Paskah, orang Israel mengorbankan domba yang tidak bersalah tanpa cacat, dan mengecat tiang pintu mereka dengan darahnya sehingga malaikat maut akan melewati mereka dan kehidupan anak sulung akan terhindar. Kehidupan anak domba yang tidak bersalah adalah pengganti untuk anak sulung. Demikian, Yesus menggantikan posisi kita. Dia mati di tempat kita dan bukan hanya untuk kita.

 

Sekali lagi, ini belumlah sampai saat akhir. Setelah melepas pakaian-Nya, Yesus mengambil posisi seorang budak. Dia mengikatkan handuk di pinggangnya dan melakukan apa yang akan dilakukan seorang budak untuk tamu tuannya, dengan mencuci kaki para tamu yang lelah. Yesus, sebagai Tuhan dan tuan, membungkuk rendah hati untuk membasuh kaki murid-murid-Nya. Itu bukan hanya tindakan kerendahan hati, tetapi itu juga simbolis dari pengosongan diri total Tuhan dalam kasih-Nya bagi para murid-Nya. Dia tidak hanya mati dalam posisi sebagai orang baik mati demi cinta dan kebenaran. Tetapi, Dia mati dengan cara yang paling memalukan dengan dipakukan di kayu salib.

 

Di hadapan kasih tanpa syarat, total, dan rendah hati seperti itu, apa reaksi kita? Tentu kita merasa benar-benar tidak layak bahwa Allah menempatkan diri-Nya begitu rendah hanya untuk mengasihi kita dan meyakinkan kita bahwa kita diampuni. Kemungkinan besar, reaksi kita sama seperti reaksi Petrus. “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” diteruskan dengan “Selama-lamanya Engkau tidak akan membasuh kakiku!” Sungguh, dengan menyadari kedosaan dan ketidaklayakan kita, tentu kita tidak akan membiarkan seseorang yang begitu mengasihi kita tanpa syarat, apalagi Dia, Yesus, Anak Allah, membasuh kaki kita. Tindakan membasuh kaki di sini merupakan simbol pengampunan. Jadi, ketika kita membasuh kaki orang yang berdosa terhadap kita, kita membasuh pula dosa-dosa mereka. Itu adalah tanda sambutan dan penerimaan.

 

Itulah sebabnya Tuhan berkata kepada Petrus, “Kamu tidak mengerti sekarang apa yang aku lakukan, tetapi kamu akan mengerti kelak. Jika saya tidak mencuci kakimu, engkau tidak akan lagi menjadi murid-Ku.” Kenapa begitu? Karena, jika kita belum mengalami kasih dan belas kasih Tuhan yang tanpa syarat, kita tidak akan pernah memahami kedalaman kasih Allah di dalam Kristus. Cinta kita kepada-Nya hanya akan berada terbatas di tingkat akal budi.

 

Sayangnya, banyak dari kita berperilaku seperti Yudas. Kita terlalu bangga atau egois untuk menerima cinta dan belas kasihan Tuhan kita yang tanpa syarat. Yesus berusaha menjangkau dia untuk menyelamatkannya dari menghancurkan dirinya sendiri. Tetapi, ia bertekad mengikuti kehendaknya sendiri dan membiarkan keserakahan membutakannya dari sukacita cinta yang lebih besar. Dia menempatkan kekuatan, kemuliaan dan kekayaan di atas cinta. Hal ini menjadi peringatan bagi kita semua. Ketika orang mengutamakan kesuksesan, prestasi, dan uang di atas cinta dan hubungan dengan orang-orang terkasih, teman dan kolega kami maka secara formal kita bisa saja pergi ke gereja bahkan berbicara hal kudus dan baik, tetapi kita tidak tulus, seperti Yudas. Kita akan melukai diri kita sendiri, termasuk orang yang kita cintai pada akhirnya.

 

Menempatkan cinta di atas segalanya berarti kita harus saling membasuh kaki. Yesus berkata, "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Membasuh kaki orang lain lebih dari sekadar menjadi pelayan satu sama lain. Sangat sering, kita menganggap simbolis mencuci kaki ini adalah undangan untuk melayani dengan rendah hati kebutuhan sesama kita. Benar, tindakan itu adalah perintah untuk saling melayani, tetapi itu bukan arti terdalam dari mencuci kaki.

 

Lebih mendalam lagi, mencuci kaki adalah perintah untuk mencintai mereka yang sulit untuk dicintai dalam hidup kita. Yesus tidak hanya membasuh kaki para rasul tertentu, tetapi semua, termasuk juga kaki Yudas. Jadi, Yesus membasuh kaki murid yang menyangkal Dia, mengkhianati Dia, dan yang lainnya meninggalkan Dia. Mencuci kaki berarti mengasihi mereka yang tidak mengasihi kita, mereka yang mengkritik kita, mereka yang memperlakukan kita dengan buruk, mereka yang tidak masuk akal, mereka yang telah menyakiti kita, mereka yang adalah musuh kita.

 

Membasuh kaki berarti kita harus mengampuni musuh kita dan mereka yang mengecewakan kita. Kita harus terus mencintai mereka dengan pengharapan cinta kita akan menghapus dosa-dosa mereka, sama seperti Yesus menghapus dosa-dosa kita dengan menderita untuk kita. Dia yang tidak bersalah dan mati dengan kematian yang tidak adil dan kejam. Hanya ketika kita mengasihi seperti Yesus, terutama terhadap mereka yang sulit untuk mencintai dan melayani, kita dapat benar-benar berkata seperti Santo Paulus dalam setiap kali merayakan Ekaristi: Ketika kita makan roti ini dan minum cawan ini, kita memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.

 

 

The Most Rev William Goh

-disadur RDG

 

 

 

Diunggah: frater | Tanggal: 09-04-2020 15:52

Tags: homili-renungan